Perang pertama masa Sukarno dahulu, bisa dikatakan Indonesia pada saat itu kalah. Karena apa, karena yang berperang di pihak Malaysia tahun 1962- 1964 akhir itu adalah pasukan yang tergabung dalam negara-negara Commonwealth Country, yakni negara-negara bekas jajahan Britania mencapai kemerdekaan. Persemakmuran telah didirikan sejak 1920 untuk menyatukan negara-negara bekas jajahan Britania ini.
Perang babak pertama, dikenal dengan istilah Konfrontasi. Pemicunya adalah keinginan Malaysia menggabungkan Brunei, Sabah dan Serawak dalam persekutuan Tanah Melayu tahun 1961. Keinginan inilah yang ditentang oleh Presiden Soekarno, (karena -trauma- dengan profil Inggris yang membantu Belanda pada Agresi ke-2 Belanda di Indonesia). Soekarno menyebut bahwa Malaysia itu”Boneka” Inggris.
Perangpun akhirnya terjadi. SIngkat cerita…pihak yang terlibat perang dengan Indonesia saat itu bukanlah tentara Malaysia sesngguhnya. Yang berperang dengan RI adalah pasukan SAS Ingris dan Australia, dibantu oleh milisi Malaysia dan sedikit tentara Malaysia. Perang ini menimbulkan korban jiwa di pihak RI sebanyak 2000 pasukan termasuk pasukan khusus (Kopassus) tewas, dan pihak SAS Inggris/Australia, 200 orang tewas.
Apakah kini Malaysia mengharapkan hal yang sama dari persemakmuran tersebut? Kelihatannya benar. Tapi ada yang terlupakan Malaysia. Barat menuduh Malaysia tidak menjalankan prinsip Demokrasi dengan benar. Selain itu kebebasan beragama di Malaysia pun sedikit ternoda di banding di Indonesia.
Mengapa kini Malaysia lebih berani dari dahulu? Tak lain adalah cita-cita dari kelompok Ultra Nasionalis Malaysia yang kini telah menguasai parlemen dan Pemerintahan Malaysia. Mereka masih bermimpi menghidupkan negara persemakmuran Melayu Raya di Selat Malaka. Apabila Indonesia sanggup di atasi, maka Singapore tentu tinggal memencet tombol saja, begitulah kira-kira analaisa dan kajian kelompok Ultra Nasionalis ini.
Kelompok Ultra Nasionalis ini sudah mulai menguat saat mendongkel Mahatir Muhammad sebagai PM Malaysia. Kelompok ini memberangus Anwar Ibrahim yang membawa bendera konserfatif dan demokratis. Ia pun dihadapkan pada skenario-skenario penistaan abadi, sehingga sangat tipis kemungkinan Anwar Ibrahim mampu kembali pada track sebagai calon pemimpin Malaysia, walau kesempatan ini terbuka jika dalam persoalan dengan Indonesai ini Malaysia dapat dikalahkan.
Lalu, apa jadinya jika perang babak ke-2 ini terjadi kembali? Selain prediksi memakan korban ke dua belah pihak dan porak-porandanya infrastruktur dan menguras cadangan devisa Negara, tentu penderitaan kepada ke dua Negara.
Perbatasan Kalimantan Barat dan Timur serta Selat Malaka akan menjadi ajang balas membalas serangan. Mungkin di laut kita kewalahan, tetapi pasukan darat kali ini akan merangsek hingga ke Kucing, Sabah dan Serawak.
Rudal dan Mortir menghantam Kualalumpur. Mungkin ada beberapa juga rudal yang jatuh ke kota Jakarta. Di KL, penduduk berlarian ke pedesaan. Sementara itu, 500 ribu dari 2 juta TKI Indonesia mengambil ancang-ancang menusuk dari dalam. Tidak lama, sekitar 3 bulan perang berhenti dengan kekalahan pihak Malaysia.
Orang-orang penting Malaysia terpaksa ditangkap dan diserahkan kepada pengadilan Internasional kaena telah membuat rakyatnya menderita. Dalam konvensi internasional mengenai peperangan, pihak yang kalah memeng menerima resiko seperti itu disamping diwajibkan mengganti biaya dan kerugian yang timbul akbat perang (pampasan perang).
Siti Nurhaliza terpksa melarikan diri ke Singapore.. Di sana ia menatap dan meratap sedih sambil menonton televisi yang menyiarkan bentrokan demi bentrokan berkarat antra RI dan Malaysia… Ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain berdoa..Sekali sekali ia bernyanyi pilu….”Oh Malaysia, kenapa engkau bermimpi? Saat seperti ini masih memimpikan Melayu Raya di Selat Malaka… Kini semua sirna, termasuk diri ku yang harus terlunta-lunta di Negeri orang…”…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar